Kiat Pemerintah dan Pengusaha Menghadapi Resesi AS dalam Ekspor Impor



 

Amerika Serikat (AS) berpotensi kuat mengalami resesi ekonomi Ini setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin pada pekan lalu. Ancaman resesi juga seiring dengan tingkat inflasi AS yang tinggi dan kondisi pasar keuangan yang tidak stabil.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sarman Simanjorang mengatakan, jika terjadi resesi, maka dikhawatirkan akan berpengaruh pada cadangan devisa, lantaran terjadinya aliran modal asing yang keluar dari Tanah Air dan secara otomatis nilai tukar rupiah semakin lemah.

Selain itu, dari sisi ekspor dan impor juga akan terganggu. Sehingga Dia menyarankan perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan pengusaha dalam mencari pasar ekspor dan impor baru untuk menjaga nilai ekspor.

“Pemerintah dan pelaku usaha harus gerak cepat mencari pasar ekspor dan import baru untuk menjaga nilai ekspor kita, agar tidak turun drastis. Ini mengingat sektor ekspor ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” tutur Sarman kepada Kontan.co.id, Selasa (21/6).

Selain itu, menurutnya pemerintah juga harus aktif melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan segera menyesuaikan dengan kondisi ekonomi global terkini.

Sehingga, lanjutnya, dampak situasi ekonomi global yang sedang dalam ketidakpastian ini tidak akan terlaku menekan perekonomian nasional.

“Arahan presiden agar belanja pemerintah diarahkan untuk produk dalam negeri sangat strategis sehingga mampu memperkuat ketahanan perekonomian nasional,” imbuhnya.

Peluang di Balik Sinyal Resesi

Adanya ancaman resesi menyebabkan kekhawatiran banyak negara soal keamanan di dalam negeri. Akibatnya ada lonjakan permintaan batubara seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa.

Sejumlah negara Eropa melirik batu bara Indonesia usai mereka menyetop impor dari Rusia mulai Agustus mendatang. Beberapa negara Eropa seperti Jerman, Spanyol, dan Polandia tengah menjajaki batu bara Indonesia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), mengatakan sudah ada pengapalan batu bara ke Jerman dan Polandia. Namun, dia tak mengetahui besaran dari jumlah ekspor yang dilakukan oleh tiap-tiap perusahaan.

"Ke Jerman mungkin sudah ada perkapalan ke sana dalam waktu baru-baru ini. Kargo ke Polandia sudah ada memang, ekspor ke sana sudah jalan," kata Hendra kepada wartawan pada Jumat (17/6). Di tengah krisis global yang melanda blok barat, Hendra mengatakan sejumlah negara Eropa berani untuk menawar harga batu bara dengan harga yang lebih tinggi. Padahal kualitas batu bara di Indonesia masih berada di bawah kualitas yang dibutuhkan oleh negara barat. "Karena ini menjelang musim dingin, mereka harus mencari batu bara segera. Kualitas kadang bisa juga dicampur,"

Selain itu, sejumlah negara Asia seperti India dan Pakistan juga berupaya untuk mendapatkan batu bara Indonesia. Bahkan, kata Hendra, Kementerian Pertambangan dan Batu Bara India akan datang ke tanah air pada akhir bulan Juni. Hendra mengatakan tadi pagi berkontak dengan Konsulat Jendral RI di Karachi yang menyampaikan kebutuhan Pakiskan akan pasokan batu bara. "Kami mendapat surat akan ada kunjungan antar pemerintah India dan Indonesia dan mau ketemu kami juga. Kalau soal isu, India kan lagi krisis listrik ya." ujar Hendra.

Sementara itu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, mengatakan ada sejumlah hal yang diperlukan para pelaku usaha batu bara jika mereka ingin melakukan ekspor ke negara-negara Eropa. Walau harga batu bara yang ditawarkan tinggi, para pengusaha juga memperhitungkan biaya angkut dan kualitas batu bara. "Apalagi untuk pasar Jerman, yang membutuhkan biaya angkut sangat besar. Sehingga memperlukan kapal minimal Panamax dan bahkan Capesize. Sehinggga selama ini pasar Atlantik ekspor kami sebatas sekitar 3% saja," kata Singgih kepada wartawan pada Jumat (17/6).

Seperti yang diketahui, lonjakan permintaan batubara kawasan Eropa akibat imbas dari perang Rusia-Ukraina menjadi peluang bagi negara pemasok batubara termasuk Indonesia untuk memperluas pasokannya ke negara Eropa.

"Indonesia ibarat kena durian runtuh dari sinyal resesi," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (21/6).

Namun Bhima melihat, akibat ancaman resesi tersebut akan berdampak kepada permintaan manufaktur yang akan terancam turun ke negara mitra dagang utama seperti AS dan China. Konsumen yang membeli produk akan menjadi lemah karena adanya faktor inflasi dan beratnya beban suku bunga pinjaman.

Terlepas dari naik turunnya devisa hasil ekspor, menurutnya yang perlu didorong adalah seberapa besar konversi ke rupiah dari devisa tersebut. 

Terlebih lagi para eksportir masih senang memegang dolar apalagi saat dollar cenderung menguat. Sehingga hal tersebut harus diantisipasi dengan penguatan fasilitas dan insentif guna menarik DHE dikonversi ke rupiah dan di endapkan di perbankan dalam negeri.

"Surplus dagang diperkirakan sebesar US$ 2 hingga 3 miliar pada Juni 2022," kata Bhima.

0 Response to "Kiat Pemerintah dan Pengusaha Menghadapi Resesi AS dalam Ekspor Impor "

Posting Komentar