Perdamaian Dunia dan Netralitas, Ketegasan Jokowi Menanggapi Konflik Ukraina-Rusia

 



Saat menghadiri KTT Khusus ASEAN-AS Mei lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerukan agar perang Rusia-Ukraina segera dihentikan. Sebab, perang di Ukraina telah menciptakan tragedi kemanusiaan dan perburukan ekonomi global.

"Perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Dunia tidak memiliki pilihan lain kecuali menghentikan perang sekarang juga," ujar Jokowi dalam pidatonya. 

"Setiap negara, setiap pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menciptakan enabling environment agar perang dapat dihentikan, perdamaian dapat terwujud," tegasnya.

Hari ini, Rabu (29/6/2022), Presiden Joko Widodo membuktikan komitmennya untuk menghentikan konflik Rusia-Ukraina. Ia telah tiba di Kyiv untuk menemui Zelenskyy dalam misi perdamaian guna mencari solusi konflik. Tak hanya menemui Zelenskyy, Jokowi juga dijadwalkan akan bertemu dengan Putin untuk misi yang sama.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana pun mengapresiasi langkah Jokowi. Menurutnya, Jokowi dapat mengupayakan kesepakatan senjata guna mencegah terjadinya tragedi kemanusiaan dan ancaman krisis pangan lebih besar.

 Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia diharapkan dapat selalu menjaga ketertiban dunia. Kunjungan Jokowi kali ini pun merupakan bagian dari penegakkan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. 

"Indonesia tidak berpihak kepada Ukraina maupun Rusia sehingga tidak memberi bantuan senjata kepada Ukraina maupun memberi dukungan kepada Rusia atas operasi militer khususnya," kata Hikmahanto

Politik Bebas Aktif Indonesia sebagai Pendekatan Kemanusiaan

INDONESIA menjadi bagian dari 141 negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB untuk mengecam serangan Rusia ke Ukraina. Dukungan Indonesia tersebut ternyata menuai debat publik. Ada yang mendukung, tapi tidak sedikit juga yang menolak. Mereka yang menolak menganggap keputusan Indonesia itu telah keluar jalur karena tidak mencerminkan politik luar negeri bebas aktif.
Ada kekeliruan yang cukup serius yang masih beredar di tengah masyarakat kita terkait pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Kekeliruan itu berangkat dari asumsi bahwa untuk menjalankan politik luar negeri (polugri) yang bebas aktif maka Indonesia harus bersikap netral dalam setiap konflik. 

Padahal, polugri bebas aktif berbeda dengan politik netral. Bebas artinya Indonesia harus independen, tidak boleh tertekan dan ditekan dalam menentukan sikap. Adapun aktif berarti Indonesia harus berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian dunia. 

Pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 2 September 1948 di Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat (BPKNP) jelas menegaskan bahwa polugri bebas aktif harus diabdikan bagi perdamaian dunia. 

Pidato Mendajung di Antara Dua Karang tersebut, yang kemudian ditulis lebih lengkap oleh Hatta dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs edisi April 1953, juga memberi kita konteks bahwa polugri kita tidak lahir dari ruang hampa. Lebih jelas, ia harus dibaca dan dijalankan berkelindan dengan landasan filosofis dan konstitusional kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945. 

Pada dua dokumen ini, kita akan menjumpai bahwa hulu dari politik luar negeri kita adalah internasionalisme atau perikemanusiaan. Presiden Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 mengingatkan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak dimaksudkan sebagai paham yang chauvinistic. 

“Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme sehingga berpaham ‘Indonesia uber Alles."

Lebih tegas Bung Karno mengatakan bahwa “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
Dari sini jelas bahwa polugri Indonesia tidak berdiri sendiri. Ia memiliki konteks yang di antaranya ialah untuk meninggikan internasionalisme atau perikemanusiaan, atau dalam bahasa Bung Karno ‘kekeluargaan bangsa-bangsa’. 

Di titik ini pula, kita dapat membaca dan meletakkan dukungan Indonesia pada resolusi Majelis Umum PBB tentang serangan Rusia itu secara tepat. Resolusi tersebut bukan hanya tidak bertentangan dengan kebijakan polugri kita, tetapi juga telah sesuai dan sejalan dengan landasan polugri kita dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945.

 Diplomasi Indonesia ke depan memang harus lebih asertif. Untuk setiap aib dan kekacauan yang terjadi di muka bumi, diplomasi kita tidak perlu dan tidak boleh bersikap abstain. Pada setiap tindakan yang mengancam perdamaian dunia, polugri kita harus bersikap. Bahwa dalam setiap konflik, apalagi yang melibatkan negara, tiap-tiap pihak mempunyai justifikasi dan pembenaran itu hal lumrah. 

Yang terpenting, kita tidak boleh larut dalam debat soal justifikasi itu. Polugri Indonesia harus memihak kepada kemanusiaan. Keberpihakan ini adalah amanat suci dari Pancasila dan UUD 1945.


0 Response to "Perdamaian Dunia dan Netralitas, Ketegasan Jokowi Menanggapi Konflik Ukraina-Rusia"

Posting Komentar